Kamis, 16 Februari 2012

Pesan dalam Cerita

Kutipan dari Serra Fonna yang judul aslinya Makna Cinta dan Pernikahan

Suatu ketika, Plato terlibat perbincangan dengan gurunya. Plato menanyakan makna cinta dan gurunya pun menjawab, "Masuklah ke dalam hutan. Pilih dan ambillah satu ranting yang menurutmu paling baik, tetapi engkau haruslah berjalan ke depan dan jangan kembali ke belakang." Pada saat kau memutuskan pilihanmu, keluarlah dari hutan dengan ranting tersebut.

Maka masuklah Plato ke dalam hutan dan keluarlah Plato tanpa membawa sebatang ranting pun. Gurunya bertanya, maka Plato menjawab, "Saya sebenarnya sudah menemukan ranting yang bagus, tetapi saya berpikir barangkali di depan saya ada ranting yang lebih baik. Tetapi, setelah saya berjalan ke depanternyata ranting yang sudah saya tinggalkan tadi yang terbaik. Maka saya keluar dari hutan tanpa membawa apa-apa."

Guru itu pun berkata, "Itulah cinta. Kita selalu ingin mencari yang terbaik, terindah dan sesuai denan yang kita harapkan, namun tanpa sadar justru kita tidak mendapatkan apa-apa sementara sang waktu akan terus berjalan."

Lalu Plato pun bertaya apakah makna pernikahan. Guru pun menjawab,"Sama seperti ranting tadi, namun kali ini engkau haruslah membawa satu pohon yang kau pikir paling baik dan bawalah keluar dari hutan."

Maka masuklah Plato ke dalam hutan dan keluarlah Plato dengan membawa pohon yang tidak terlalu tinggi tidak juga terlalu indah. Gurunya pun bertanya. ini jawaban Plato,"Saya bertemu pohon yang indah daunnya, besar batangnya, tetapi saya tak dapat memotongnya dan pastilah saya tak mampu membawanya keluar dari salam hutan. Akhirnya saya tinggalkan. Kemudian saya menemui pohon yang tidak terlalu buruk, tidak terlalu tinggi. Dan saya pikir mampu membawanya karena saya tidak mungkin menemui pohon seperti ini didepan sana. Akhirnya saya plih pohon ini karena saya yakin mampu merawatnya dan menjadikannya indah."

Lalu sang guru berkata,"itulah makna pernikahan. Begitu banyak pilihan di depan kita seperti pohon dan ranting-rantingnya di dalam hutan, tapi kita mesti menentukan satu pilihan karena kesempatan itu hanya satu kali. Kita harus terus maju seperti waktu yang beredar ke depan yang tidak pernah tersimpan pada hari semalam, kemarin, ataau bersemayam pada masa lalu kita."

******

Rabu, 08 Februari 2012

Tembang Tengah Hari

Sebuah puisi nasionalisme dari buku Mencari Malam Seribu Bulan- Abdul Wachid B.S.

Seorang petani tengah hari
Di jauhan beberapa orang menuju jalan pulang
Sedang ia masih tinggal di pematang
Pergantian musim hampir panen
Sedang angin pegunungan nyebar wangi kembang kopi
Sesuatu yang mengingatkan akan seseorang yang
Tak mungkin terganti semayamnya di hati

Pandangan ke sudut dusun, membuka lipatan sejarah
"Ah, dia mati muda," gumamnya
Tapi tidak! pikirnya
Apa yang mempertahankan kesucian kesetiaan dan
Hati nurani, dapat dikatakan mati?
Dia cahaya, yang bersama para syahid
Menjelma matahari kemerdekaan
Merdeka dari penindasan kefitrian manusia
Dia istri, ibu anaknya
Dia terbaring kembali berpeluk ke asal debu
Lantaran tangan sekelompok iblis, pesta-pora
Atas semu kemenangan, September yang darah

Maka lelaki berambut keperakan itu bertahan
Di sini, dusun yang disuburkan kenangan
Yang sakit ketika dirasa
Tapi nikmat saat mata sejarah membacanya
Sekalipun ini bukan tanah kelahiran
Hanya lintasan pengungsi saat perang
Tapi waktu Merah Putih dinaikkan
Ia kibarkan setiang penuh di sini
Dusun yang disuburkan tumpahan darah dan airmata
Sesuatu yang mengingatkan nama yang
Tak mungkin terganti semayamnya di hati

Cinta pada negeri hati nurani adalah cinta yang kerja
Mulanya ia sendiri, memasang bambu-bambu itu
Dari pancuran sana ke rumah
Agar tak tersia artinya air tanah
Mulanya kaum dusun cuma memandang
Tapi setelah tahu hasilnya, mereka pun
Tak ketinggalan, seperti seekor bangau terbang
Seribu yang lain mengikuti melangglang

Cinta pada ibu anaknya yakni kasih yang bertahan
Di pegunungan ini. Ia pun turut sujud bila
Malam hari pendar warna kota di bawah sana
Menyemburatkan pelangi masadepan negeri
Sedang baginya cukuplah disini
Dusun yang disuburkan tumpahan darah dan airmata
Di bawah rembulan dan matahari
Sebab semua tanah hakikatnya sama
Taah negeri hati nurani

Seorang petani tengah hari
Di jauhan beberapa orang mulai kembali kerja
Sedang yang bersiap sembahyang di pematang
Siapakah ia?
Lurah Usmuni yang sederhana
Kaum dusun bangga menyebutnya "bapak"
Sedang angin pegunungan masih mainan wangi
Kembang kopi. Tak merasa ada bocah mendekat
Dengan kendi dan bungkusan nasi

"Kakek melamunkan siapa? Nenek, ya?"

Yang disebut terperanjat, tapi
Usai hening sejurus, sibocah pun turut memandang
Ke sudut dusun sembari tanya, "Kek,
Siapa asli nama Nenek, kapan meninggalnya?"

"Hanya jasad yang mati, Nak
Jiwanya nyala abadi sebagai cahaya Indonesia
Dan bukan kebetulan Nenek bernama Pertiwi
Ya. Ibu-Pertiwi tak akan pernah padam cahaya!"

Judul " Tembang Tengah Hari"