Dia, yang tidak pernah kamu mengerti.
Dia, racun yang membunuhmu
perlahan.
Dia, yang kamu reka dan kamu cipta.
Sebelah darimu
menginginkan agar dia datang, membencimu hingga muak dia mendekati gila,
menertawakan segala kebodohannya, kehilafan untuk sampai jatuh hati
kepadamu, menyesalkan magis yang hadir naluriah setiap kalian berjumpa.
Akan kamu kirimkan lagi tiket bioskop, bon restoran, semua tulisannya
--dari mulai nota sebaris sampai doa berbait-bait.
Dan beceklah pipi-nya
karena geli, karena asap dan abu dari benda-benda yang dia
hanguskan--bukti bahwa kalian pernah saling tergila-gila--beterbangan
masuk ke matanya.
Semoga dia pergi dan tak pernah menoleh lagi.
Hidupmu,
hidupnya, pasti akan lebih mudah.”
― Dee, Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade
― Dee, Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade
Dulu saya belum setuju dengan pernyataan hati punya masa kadaluwarsa.
Beberapa hari lalu, di salah satu postingan di blog ini, ada komentar mendayu-dayu dari
Dengan pikiran yang saya buat menjadi amat sangat positif, saya bersyukur masih ada orang yang begitu peduli pada saya sampai mengucap sepatah dua patah kata. Atau bahkan dalam bentuk satu atau dua paragraf kalimat?
Apapun lah bentuknya :)
Tapi sekarang? Ya. Sudah kadaluwarsa.
Ada hati baru yang di depan mata. Yang kali ini, akan saya ikuti dengan sewajarnya, karena manusia pasti belajar dari pengalaman lalu.
Bukannya manusia memang harus terus jalan lurus dijalan raya? Boleh sesekali menengok di kaca samping untuk melihat kebelakang.
tapi jangan berbuat gila dengan berbalik arah dan melawan lajur di jalan raya, karena itu bukan hanya mengganggu orang lain, tapi juga membahayakan.
Terima kasih :) Selamat berjuang dengan hidup yang dipilih loh yaaaaa... :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar