Rabu, 08 Februari 2012

Tembang Tengah Hari

Sebuah puisi nasionalisme dari buku Mencari Malam Seribu Bulan- Abdul Wachid B.S.

Seorang petani tengah hari
Di jauhan beberapa orang menuju jalan pulang
Sedang ia masih tinggal di pematang
Pergantian musim hampir panen
Sedang angin pegunungan nyebar wangi kembang kopi
Sesuatu yang mengingatkan akan seseorang yang
Tak mungkin terganti semayamnya di hati

Pandangan ke sudut dusun, membuka lipatan sejarah
"Ah, dia mati muda," gumamnya
Tapi tidak! pikirnya
Apa yang mempertahankan kesucian kesetiaan dan
Hati nurani, dapat dikatakan mati?
Dia cahaya, yang bersama para syahid
Menjelma matahari kemerdekaan
Merdeka dari penindasan kefitrian manusia
Dia istri, ibu anaknya
Dia terbaring kembali berpeluk ke asal debu
Lantaran tangan sekelompok iblis, pesta-pora
Atas semu kemenangan, September yang darah

Maka lelaki berambut keperakan itu bertahan
Di sini, dusun yang disuburkan kenangan
Yang sakit ketika dirasa
Tapi nikmat saat mata sejarah membacanya
Sekalipun ini bukan tanah kelahiran
Hanya lintasan pengungsi saat perang
Tapi waktu Merah Putih dinaikkan
Ia kibarkan setiang penuh di sini
Dusun yang disuburkan tumpahan darah dan airmata
Sesuatu yang mengingatkan nama yang
Tak mungkin terganti semayamnya di hati

Cinta pada negeri hati nurani adalah cinta yang kerja
Mulanya ia sendiri, memasang bambu-bambu itu
Dari pancuran sana ke rumah
Agar tak tersia artinya air tanah
Mulanya kaum dusun cuma memandang
Tapi setelah tahu hasilnya, mereka pun
Tak ketinggalan, seperti seekor bangau terbang
Seribu yang lain mengikuti melangglang

Cinta pada ibu anaknya yakni kasih yang bertahan
Di pegunungan ini. Ia pun turut sujud bila
Malam hari pendar warna kota di bawah sana
Menyemburatkan pelangi masadepan negeri
Sedang baginya cukuplah disini
Dusun yang disuburkan tumpahan darah dan airmata
Di bawah rembulan dan matahari
Sebab semua tanah hakikatnya sama
Taah negeri hati nurani

Seorang petani tengah hari
Di jauhan beberapa orang mulai kembali kerja
Sedang yang bersiap sembahyang di pematang
Siapakah ia?
Lurah Usmuni yang sederhana
Kaum dusun bangga menyebutnya "bapak"
Sedang angin pegunungan masih mainan wangi
Kembang kopi. Tak merasa ada bocah mendekat
Dengan kendi dan bungkusan nasi

"Kakek melamunkan siapa? Nenek, ya?"

Yang disebut terperanjat, tapi
Usai hening sejurus, sibocah pun turut memandang
Ke sudut dusun sembari tanya, "Kek,
Siapa asli nama Nenek, kapan meninggalnya?"

"Hanya jasad yang mati, Nak
Jiwanya nyala abadi sebagai cahaya Indonesia
Dan bukan kebetulan Nenek bernama Pertiwi
Ya. Ibu-Pertiwi tak akan pernah padam cahaya!"

Judul " Tembang Tengah Hari"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar