Jumat, 11 Oktober 2013

Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin

Judul postingan ini persis judul sebuah buku karangan Tere Liye

Untuk pertama kalinya saya baca buku Tere Liye, dan mungkin bisa dibilang, nilai 5 dari maksimal 5 bintang di buku ini.

Ceritanya gampang di cerna, pesan tersirat-tersuratnya luar biasa, kalimatnya mengena :)
Yang suka baca novel sastra dengan banyak kalimat "wow" ketemu di sini deh!

Langsung ya, banyak kalimat yang luar biasa di sini :)

"Sendirian, Mbak?", seorang karyawan cowok toko buku basa-basi menegurku. Dia pura-pura membenahi tumpukan buku-buku belajar-membaca yang sebenarnya sudah sempurna tersusun rapi dua langkah di sebelah kananku.
Aku menyeringai datar. Pertanyaan itu pura-pura. Aku tahu persis. Dia tahu, seperti karyawan toko buku lainnya, setiap malam aku datang ke sini selalu sendirian.
Jadi buat apa bertanya?
Buat apa? Akhirnya malam ini dia berani juga menyapa. Aku tahu seminggu terakhir dia selalu mencuri-curi pandang. Pura-pura berada di sekitarku saat aku berdiri menatap pemandangan di luar. Dia pasti sudah meneguhkan hati sepanjang sore hanya untuk mengeluarkan suara dan raut muka setegang ini. Membujuk hatinya sepanjang minggu agar berani menegur seorang gadis yang memesonanya.


Dan tahukah kalian, saat kami naik bus yang sama untuk pulang seperti kemarin malam, seseorang itu berada di sana. Menegur kami. Tersenyum. Seolah-olah sudah menunggu.

Waktu itu aku tidak berpikiran tentang perasaan yang aneh-aneh. Sedikit pun tidak. Aku hanya merasa sebal dengan seseorang yang tiba-tiba mengambil semua posisiku. Yang pertama soal berjalan bergandengan. Yang kedua soal bicara. Bukankah selama enam bulan terakhir akulah yang selalu diajak berbincang olehnya saat bepergian bersama? Yang ketiga soal tempat duduk saat makan. Harusnya posisi kak Ratna sekarang adalah tempat dudukku.
Yang ke empat semangkuk berdua!
Malam itu aku pulang ke kamar kontrakan kami dengan perasaan jengkel yang tak bisa kumengerti. Entah apa maksud semuanya. Aku masih terlalu kecil untuk mengerti perasaanku sendiri.

 Dia hanya tertawa kecil.
Aku paling senang melihat ekspresi seperti itu dari wajahnya. raut muka yang konstruktif. meyakinkan. Menenangkan. ekspresi yang tulus. Bukan raut muka tawa basa-basi. dam itu banyak memotivasiku.

Kalau kau memang merasa berhak mengatakannya, emngapa tidak kaukatakan sekarang juga? Kirimkan email, chatting, telepon, dan lain sebagainya! Haha... kau takut menghadapi kenyataan itu kan, Tania? Takut mendengar jawabannya? Takut. Itulah hatimu yang sebenarnya, Tania.
Pengecut! Kau hanya berharap ada keajaiban dari langit. Sementara keajaiban itu belum datang, kau mengacau ke sana kemari dengan pongah kekanak-kanakanmu. Kau tidak pernah pantas untuknya. Sedikitpun tidak! Kau tetap anak kecil yang suka merajuk, pencemburu, dan banyak mau!
Tidak lebih tidak kurang!


Dia membenciku? Entahlah. Tak mungkin orang membenci tapi masih rajin bertanya. Atau memang ada varian benci baru dalam kehidupan? Benci yang bermetamorfosis. benci yang hipokrit?

Orang-orang yang sedang jatuh cinta memang cenderung menghubungkan satu dan hal lainnya. Mencari-cari penjelasan yang membuat hatinya senang. Tetapi aku sudah memutuskan memilih mana simpul yang nyata serta mana simpul yang hanya berasal dari ego mimpiku.
Dan itu tidak sulit, sepanjang aku berpikir rasional.

Sebenarnya penjelasan yang lebih baik adalah karena aku sering kali berubah pikiran. Semuanya menjadi absurd. Bukan ragu-ragu atau plintat-plintut, tetapi karena memang itulah tabiat burukku sekarang, berbagai paradoks itu. Bilang iya tetapi tidak. Bilang tidak, tetapi iya. Terkadang iya dan tidak sudah tidak  jelas lagi perbedaannya.

 Daun yang jatuh tak pernah membenci angin, dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan, mengikhlaskan semuanya.
Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yang tulus.
Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah kemana.

 Pria selalu punya ruang tersembunyi di hatinya. Tak ada yang tahu, bahkan percayakah kau, ruang sekecil itu jauh lebih absurd daripada seorang wanita terabsurd sekalipun

Tahukah kau, Tania, diamnya jauh lebih menyakitkan dibandingkan marahnya. Aku lebih baik dimarahi karena bertanya banyak hal kepadanya, dibandingkan tatapan teduh itu, tatapan polos, tatapan kosong.

Orang yang memendam perasaan sering kali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Seibuk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu ketika dia tidak tahu lagi mana simpul nyata dan mana simpul yang dusta. Aku dulu juga seperti itu...sibuk menduga-duga.

Kau membunuh setiap pucuk perasaan itu. Tumbuh satu langsung kaupangkas. Bersemai satu langsung kauinjak. Menyeruak satu langsung kaucabut tanpa ampun. Kau tak pernah memberikan kesempatan. Karena itu tak mungkin bagimu? Kau malu mengakuinya walau sedang sendiri. bagaimana mungkin kau mencintai gadis kecil ingusan? Pertanyaan itu selalu mengganggumu.
 Yang kau lupa, aku tumbuh dewasa seperti yang kau harapkan. Dan tunas-tunas perasaanmu tak bisa kaupangkas lagi. Semakin kautikam, dia tumbuh dua kali lipatnya. Semakin kau injak, helai daun barunya semakin banyak.
Dan kau bahkan memutuskan untuk menyiram mati hingga ke akar-akarnya perasaan itu. membakarnya. 



Buku ini mengingatkan dengan orang yang berdiri cerewet dan mencak-mencak saat bayar buku ini dikasir.Orang pertama yang berkomentar, "Jalan pikiran Nisa ini persis sama kayak Tere Liye", dengan muka serius tapi sambil ketawa.

Ternyata iya! :) Tere Liye, Terimakasih kalimatnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar